![]() |
Kasian kakinya nyangkut |
![]() |
Hanya Ilustrasi |
![]() |
Kasian kakinya nyangkut |
![]() |
Hanya Ilustrasi |
Keikhlasan itu kadang jauh tersembunyi dan sulit dicari bukan hanya ketika keluhan datang meresap ke pikiran kita layaknya ular melata ke dalam semak - semak, namun ketika kita mengalami masalah yang memang butuh waktu dan pikiran untuk solusinya.
Sekarang saya rasanya ingin berbagi sesuatu, tapi tahukah kawan emosi menurunkan kecerdasan seseorang? Mungkin itu yg sedang saya alami sekarang. Memilah kata untuk ditulis saja rasanya seperti lebih sulit daripada melepas beras dari gabahnya.
Kehidupan ini layaknya lautan kita arungi sendirian. Sedangkan orang - orang yang datang dan pergi seperti pengguna perahu yang kita temui di permukaan. Beberapa dari mereka mempersilahkan menumpang, sedangkan beberapa orang lainnya hanya melemparkan ban bekas untuk sekedar meringankan beban kita, bahkan ada yang lebih ingin melihat kita tenggelam. Siapa yang tahu? Kita terlahir sendiri dan mati juga sendiri, mungkin beruntunglah yang terlahir kembar. Setidaknya walau di rahim mereka belum tentu saling mengenal, mereka bisa sama - sama menangis saat pertama kali melihat kengerian dunia.
Berulang kali harapan melihat daratan hinggap di kepala saat kita tengah berenang. Beberapa perahu bilang, "kami sudah kelebihan muatan, silahkan kamu kembali ke lautanmu lagi" saat itulah manusia datang dan pergi, kita bertemu atau memang sengaja menghampiri. Hei, bukan tidak mungkin kan membangun perahu sendiri, tapi layaknya mimpi dalam tidur pernahkan kita ingat dari daratan mana kita mulai melompat ke laut? Atau kapal pesiar mana yang kita telantarkan tenggelam bersama awak - awak yang mungkin dulu kita kenal. Saat kita membuka mata, kita sudah berenang. Awalnya panik, namun waktu juga yang meyakinkan kita untuk tenang dan tidak menyerah.
Bukan sekali dua kali kita berkeinginan membuat perahu sendiri, mengajak orang - orang yang susah payah arungi samudera kehidupan telanjang dada, kedinginan, dan membiarkan kulitnya basah hingga keriput. Tapi apakah ada toko kayu mengapung di atas air? Sisa - sisa besi karam ada di dasar laut namun terkadang kita enggan menyelam hanya karena takut melepas rompi udara yang memaksa kita mengapung di permukaan.
Saya hanya ingin bertanya, apakah salah kita berhenti berenang? Merenung sebentar atau sekedar berharap hanyut dan menyerah kepada arus kemanapun kita membawanya? Daripada terus susah payah memaksa otot memacu kita kepada mercusuar yang sudah sejak tahunan lalu menjadi tujuan kita?
Sekarang rompi itu sudah saya lepas, saya tenggelamkan badan saya sedikit karena keindahan terumbu tidak jelas terlihat dari permukaan. Ikan - ikan warna warni pun tidak senantiasa melompat ke udara walau hanya sekedar pamer kecantikkannya.
Namun salah juga terlalu lama menyelam, tanpa disadari permukaan lautan sudah berminyak karena tanker bermuatan minyak bumi bocor mencemarkan laut kehidupan. Kita tak mungkin kembali ke atas. Mungkin di sisa waktu saya, kita, dan kalian, hanya bisa tetap menikmati terumbu sedikit di bawah permukaan hingga saatnya kita kehabisan napas tanpa bisa kembali menghirupnya di permukaan.
***
Hal yang perlu disyukuri dalam hidup adalah ditakdirkan hidup -Anonymous
Sent from my BlackBerry® 10™
Bukan hari yang berbeda dengan hari – hari sibuk lainnya. Dia ada di hadapan roda kemudi mengendarai roda empat yang melintas maju tanpa kendala tersendatnya lalu lintas. Angin jalan bebas hambatan menempa wajah berkumis tipis, berjanggut tebal, dan berkaca mata hitam. Sisi rambutnya bergerak mengikuti tiupan alam dan sisa rambutny tertutup topi pendeknya. Bukan sebuah hari yang spesial memang sebelum dia menjalani hari – hari penuh semangat untuk kembali di berkutat dengan angka di hadapan komputer pangku-nya. Hari biasa sebelum ada berita yang pendek cerita akan meremukan hatinya layaknya kertas ujian bernilai buruk yang diremas bulat dan dibuang ke tempat sampah di sudut ruangan.
Berita itu datang bukan dengan sendirinya, namun rasa keingin tahuannya sendiri lah yang membuka jalan murka, emosi, dan kesedihan bagi dirinya. Hari itu dia menatap layar sentuh yang bukan miliknya, memberikan jawaban atas prasangkanya yg tidak beralasan. Namun memberikan akibat kepada matanya yang kini agak sulit mengering. Kaca wastafel lah yang menjadi peraduannya dan air keran menjadi tembok untuk bersembunyi dari keterpurukannya yang padahal dia tidak pernah bisa menyangkal. Dia seperti lupa atau entah malu bagaimana caranya mengadu kepada Tuhannya yang biasanya menjadi tembok ratapan dan sebuah simulasi rasa pelukan imajiner Sang Maha Pencipta.
Entah apa yang menghinggapi pikiran kekasihnya sampai pada kesekian kalinya memberi sentuhan yang tak lain hanyalah sentuhan dusta. Satu hal yang menjadi tanya kepadanya, apa yang belum dia lakukan dan sampaikan untuk membuktikan kesetiaan cintanya kepada kekasihnya. Matanya masih basah, bahkan tangannya sendiri tak mampu menyumbat derai air matanya. Layaknya sebuah aliran sungai yang mungkin hanya berhenti karena kemarau. Kali ini, dia sungai yang sangat berharap ada bencana alam bisa memberhentikan alirannya agar tak mencapai delta.
Pikirannya bagai sebuah planet penuh penghuni, berotasi, berisik, dan penuh dengan hiruk pikuk manusia. Segala hal berkecamuk dalam otaknya yang memberikan beban berat pada hati dan jiwanya. Hingga pada suatu tempat satelit hatinya sampai pada ingatan tentang masa lalunya. Tidak, pikirannya belum berhenti berotasi, masih ada malam dan siang di situ, masih ada salju dan padang pasir di sana. Dia ingat bagaimana dulu kekasihnya menjunjung tinggi namanya, membuatnya bahagia dengan segala manja dan tuntutan yang seringkali membuat dia tertawa, membuat dia berimajinasi memeluknya dari seberang telepon saat berbincang mesra dan serius. Dia ingat bagaimana situasi membuatnya acuh pada kerinduan kekasihnya, padahal cintanya sudah mulai tumbuh menjadi pohon besar berbatang kuat dan sulit untuk ditebang ataupun digergaji.
Satelit itu berhenti, pada sebuah padang rumput hijau berhewan banyak, memberikan sebuah gambaran jelas bagaimana indahnya sebuah alam pikiran yang terbentuk dari kenangan indah yang terpatri mungkin hingga matinya. “Babe, you are smart, cool, calm when I am in Panic, nice, care, and busy – of course- because you are the one I love” Masih dia ingat tatapan sang kekasih diikuti oleh senyum indahnya. Saat itu dia membalas senyumnya dengan bahagia, dan sejak itu dia yakin akan sebuah langkah baru dalam hidupnya; membentuk keluarga.
Bukan yang pertama untuknya dikhianati, bukan juga yang kedua berita yg merusak kepercayaannya datang langsung kepada wajahnya membentuk air muram yang susah untuk dikeringkan. Tapi ada sebuah alasan besar yang membuat dia bisa menelan pil khianat itu bahkan tanpa air minum dalam gelas. Alasan itu seperti sebuah lingkaran putih besar yang di dalammya ada titik hitam menutupi 1 persen lingkaran putih itu. Alasan itu bukan sebuah piring tipis yang mudah retak jika dipanaskan atau diberi beban besi berat. Alasan itu juga bukan sebuah remah kayu yang mudah dilahap rayap. Alasan itu layaknya beton baja yang sanggup dilalui berton –ton kendaraan penyakit hati beserta angkutannya. Alasan itu hanya akan hancur dengan sebuah gempa kepalsuan berkekuatan belasan skala richter dan dekat dengan episentrumnya. Alasan itu bukan pengecualian karena tidak ada yang dikecualikan.
Dia, Sang Pemimpin Padang Jerami punya sebuah alasan.
Alasan itu: Cinta.