Kamis, 24 Juni 2010

Teman Episode Tiga - Leasing Ngising

“jangan ngebut ya ki” ucap si mamah sambil nyodorin tangannya ke idung gw, tambah berapa persen tenaga lagi kayaknya bisa bikin gw mimisan, kenceng banget tuh sodokan tangan mamah ke muka gw. Mamah emang wonder woman, dulu cubitan mamah jauh lebih menyakitkan daripada kena hantem bola tendang trus nabrak pager, dan diinjek temen yang lewat. Luar biasa memang induk semang gw. “iya mah, gak akan ngebut..Cuma kenceng – kenceng, hehehe” jawab gw sambil nyengir yang kemudian disambut dengan tepakan di kepala gw oleh mamah menggunakan pacul.


Hari ini gw mau kerumah kakak gw yang tinggal di luar kota, sekalian bayar cicilan motor butut gw yang kecepatannya saingan ama ontel kota tua, dan berisiknya udah kayak ada tikus kejepit di sela – sela mesin motor. Memang terdengar (atau terbaca) konyol, kok bayar cicilan motor aja gw ampe harus ke luar kota, sedangkan zaman udah serba online. Transfer sana sini udah langsung jadi, teknologi udah maju. Gw sampe berpikir, suatu saat kalo orang sama makanan bisa diinstal Bluetooth, mungkin hanya dengan memandang makanan di etalase warung, kita bisa kenyang. Semua itu semata – mata karena pelayanan yang buruk dari sebuah perusahaan leasing kacangan. Tapi tidak apa – apa, itung – itung silaturahim dengan kakak gw yang gak tiap hari ketemu semenjak beliau berkeluarga.


Perjalanan ke Jakarta terasa jauh banget, terutama jika menggunakan motor yang notabene gak diperkenankan lewat jalan tol. Tapi lalu lintasnya tidak terlalu padat, sehingga tidak terlalu membuat otak melepuh, mata melotot, gigi meruncing, dan pantat panas. Kalo dengan kecepatan wajar, kira – kira menghabiskan waktu satu setengah jam perjalanan, tapi kalo kebut – kebutan, 20 menit juga bisa langsung nyampe…langsung nyampe surga.


Waktu dan bensin sudah menguap, konsekuensinya, gw sampai juga di rumah kakak gw yang tambun. Sebetulnya dia bercita – cita jadi penggembira, tapi sayang belum ada lapangan yang cocok untuk bisa menahan berat badannya. Kita lewati saja cerita temu kangen dengan kakak, ipar, dan ponakan yang tentu saja kebahagiaanya tidak ada yang bisa menyaingi selain melihat Michael Jackson hidup lagi. Gw langsung meluncur ke perusahaan leasing bersama kakak gw yang tambun namun sekilas mirip dengan pemeran Sarah di Sinetron Si Doel Anak Sekolahan.


Perusahaan leasing ini terletak di pinggir jalan gersang dan kering, menambah kesan bahwa tempat ini tidak membuat betah. Masuki lebih dalam perusahaan ini dan saya berani bertaruh bahwa manusia di dalamnya adalah manusia minim sedekah, karena bagi mereka tersenyum saja adalah sebuah hal yang mahal. Di meja resepsionis duduk seorang yang belum tentu orang. Wajahnya ganas bak laki – laki pekerja tambang batu bata, kulitnya hitam menambah ke-eksotisan-nya sebagai seorang bangsa timur, rambutnya berdiri bukti kalau dia punya TV dan selalu up-to-date. Tak kenal maka tak tahu, begitulah seharusnya peribahasa berbunyi. Jangan salah menilai seorang lelaki tulen ini, karena ketika anda dipersilahkan duduk, anda akan berpikir perlu makan wortel lebih banyak lagi, atau yang di hadapan anda adalah robot dengan fungsi audio rusak. “silahkan duduk mas” katanya dengan suara kemayu dan khas seorang yang labil. Suaranya seperti suara perempuan, gesture tubuhnya juga. Tapi seperti apa-pun gemulainya dia mempersilahkan gw duduk, senyum tetap tidak tersungging di bibirnya. Wajahnya kelihatan menyimpan banyak masalah dan banyak jerawat, dahinya berembun, eh berkeringat, dan tangannya sibuk kesana kemari, ambil pulpen, buku kwitansi, buka laci, dan sebagainya yang membuktikan dia bukan penderita stroke. “saya mau bayar” kata gw dengan nada datar. Beda dengan dirinya, gw selalu tersenyum, itulah kenapa seringkali orang menegur ada cabe, kangkung, ayam, bahkan kopi yang bertengger di depan gigi gw. Sambil keluarin uang dan kwitansi gw sebutin nama gw, “Dwiki Abi, ni udah cicilan terakhir mas, saya bisa langsung ambil BPKBnya gak?”. “kalo udah gak ada denda tinggal ambil aja, tapi baru bisa diambil sebulan” katanya sambil tetap menulis diatas kwitansi. Sumpah ni orang ketus banget, ngeliatnya sikapnya yang gak bersahabat biking gw pengen tancepin staples di jidatnya. Gw liat2an dulu sama kakak gw yang dari tadi Cuma diem aja, persis kayak bodyguard pribadi gw dengan perawakan yang meyakinkan. “ya udah cek aja dulu” kata gw lagi, masih dengan senyum. Kayaknya dari tingkah laku gw, orang bisa liat ada lingkaran kuning terbang tepat di atas kepala gw. “ada nih, dua ratus ribu rupiah” katanya setelah berpaling sebentar ke layar computer. “what! Gw bisa beli banyak obat penumbuh bulu dengan uang segitu!” kata gw shock gak kalah shock sama saat pertama kali bertemu ni resepsionis. “saya gak pernah telat mas” kata gw sekarang dengan nada tinggi, kira2 di D Minor. “ya kita kan ada catetannya” kata dia lagi gak mau kalah. Matanya masih melihat ke arah kwitansi yang belum selesai dia tulis. “waktu itu saya selalu bayar sama agen mas yang pernah kerja disini”. “ya udah ntar bawa aja buktinya” katanya lagi. “ini kwitansi pembayaran bulan ini” kata dia sambil menyerahkan kwitansinya ke gw. “sini, nih uangnya. Simpen aja kembaliannya!” kata gw sambil merebut kwitansinya. Muka si resepsionis keliatan lebih putih, gak segosong sebelumnya. Keliatannya dia khawatir juga ngeliat customer marah – marah.


Akhirnya gw pergi dari leasing itu terpaksa dengan muka dilipet, kalo ada yang bisa bikin kesel lagi saat itu, mungkin muka gw bisa jadi origami karena dilipet terus menerus. Setidaknya bulan depan gw harus kembali lagi kesitu, ngurusin yang gw belum bayar. Gw gak bisa sepenuhnya menyalahkan wanita jadi – jadian yang ada di dalam, karena dia cuma melaksanakan tugasnya dan menjaga agar dapurnya tetep ngebul. “teh!” kata gw tiba2 mengejutkan kakak gw yang gembil. Dia kelihatannya sedang menaruh makanan tapi tidak juga ditelan, padahal memang bentuk mukanya begitu menyesuaikan dengan kadar lemak yang dikandung tubuhnya. “apa?!” kata kakak gw menjawab dengan ekspresi dan intonasi yang serupa sama panggilan gw ke dia. “kita beli tahu sumedang…” kata gw lagi gak nyambung. “jauh amat, kita cari di Cimanggis aja” katanya lebih gak nyambung..


To be Continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar