Minggu, 03 November 2019

Ujian Yang Kau Punya, Beryukurlah Nyawa Masih Bersamamu

Teman, ada waktu dimana kita merasa bahwa hidup kita sedang dalam hempasan. Layaknya sebuah kurva, semua terjadi seperti pengulangan. Dulu pernah rendah, kemudian jadi tinggi, lalu mengalami rendah lagi, suatu saat dibuat tinggi lagi. Masalahnya serupa tidak sama, solusinya berbeda namun selalu ada. Kurva itu yang membuat manusia menjadi manusia, si A adalah si A, bukan B. Apalagi ABE berbeda dengan ACE, lain manusia lain karakternya.

 

Mereka bilang menulis harus dengan kekuatan konten, tapi kadang tulisan hanya sebuah gerimis saja untuk rasa yang gersang. Sambil menunggu hujan yg belum datang, walaupun pasti juga tiba. Karena perasaan yang kering, harus bisa bertahan hingga bisa basah lagi.

 

Dilihat ke belakang, tulisan selalu tentang masalah, iya juga itu namanya problem. Karena mana ada solver jika tidak ada problem? Kalau mau klimaks ada masa rendah dulu kan? Supaya jalan menanjak, kita sedang berada di lembah dulu bukan? Pasti ada klimaksnya, pasti ada puncaknya.

 

Teman, selama hidup tinggalkan jejak kaki yang banyak, sehingga orang ingat kita pernah hidup memberi bagian untuk dunia ini. Bukan sekedar mengambilnya.

 

Selasa, 11 Juni 2019

Why Am I so depressed?

Rutinitas, bahkan yang biasa – biasa saja, atau menyenangkan jika berulang akan sangat meresahkan. Hey namanya juga hidup, ya berulang. Hari ini makan pagi, besok juga begitu. Atau hari ini tidak makan, besok tidak punya uang tidak makan juga. Yang berulang makan terus bersyukur donk?

 

Hari ini mandi pagi, besok juga begitu. Hari ini dan esok melewati jalan yang sama. Bangun di tempat tidur yang sama. Manusia mungkin berganti, tadinya dengan saudara, sekarang dengan pasangan hidup. Tadinya di rumah Ayah Ibu, sekarang sudah berpisah rumah.

 

Hidup di zaman sekarang kita dipaksa survive dengan uang. Beli makan dengan uang, berjalan dengan uang, beli bensin dengan uang, pakaian dengan uang, komunikasi dengan uang, dan sosialisasi dengan uang. Punya uang stress, tidak punya uang gak survive.

 

Ada yang salah, system ini salah, kenapa sengaja kita dibuat dependen dengan uang? Bahan makanan yang bisa dimasak banyak, dahulu bisa dipetik, diburu, sekarang harus dibeli dipasar. Kain untuk pakaian dulu bisa tenun atau jahit sendiri, sekarang harus beli di mall. Surat menyurat, berkumpul dengan kawan hanya dengan modal pisang goreng bawa dari rumah, sekarang harus bayar restoran. Punya kuda sendiri beri makan rumput dan jerami, mobil dan motor menguras hampir sepertiga penghasilan tahunan.

 

Ada yang salah, system ini dibuat agar orang jadi gila. Kebohongan di social media, kebahagiaan semu dalam foto, kutipan motivasi yang hanya jadi pajangan. Ketika mencari kebahagiaan spiritual, lupa ada sisi psikologis yg harus dibenahi. Ketika membenahi psiklologis, lupa bahwa manusia makhluk spiritual yang raih bahagia hanya dengan iman.

 

Manusia zaman sekarang dipaksa memilih, keluarga atau pekerjaan? Harta atau waktu? Social atau tabungan? Karir bagus atau banyak teman? Hobi atau ambisi? Cita – cita atau trend? Dahulu semua bisa diraih, karena waktu dan kebahagiaan tidak harus dibeli dengan UANG

Rabu, 16 Januari 2019

Ke-sendiri-an vs ke-sepi-an

Bukan pertama kali, sehingga ada rasa takut untuk bertindak dan berbicara. Social anxiety? Tidak tahu. Kata yang terlontar saja sudah dianggap kesalahan, dalam kebingungan. Betul memang Tuhan tempat mengadu, tapi manusia jangan dipaksa sendiri. Rasanya aneh, dahulu ramai dengan pergaulan, sekarang hari – hari hanya dengan diri saja. Mengunyah makanan sendiri menatap obrolan orang lain. Berkendara sendiri dengan padahal lalu lintas padat dan ramai. Orang berusaha ramah dianggap banyak omong, yang cuek dan enggan bicara dianggap perilaku strata tinggi.

 

Tapi, bahkan kata – kata ini saja sudah pasti salah, manusia tempatnya salah. Tapi pernahkah merasa bahwa kita tidak pernah berbuat yang benar? Selalu salah? Bukan penghakiman orang lain. Pada akhirnya saat kita akan melakukan aksi, otak kita merasa khawatir bahwa ini pasti sebuah kesalahan. Kita sampai di waktu dimana sahabat tidak ada lagi. Masing – masing dari kita tenggelam dalam kesibukan sendiri. Rumah seperti tempat singgah saja, tapi memang begitu. Dunia ini pun sementara saja bukan.

 

Ini hari – hari dimana, perasaan berkata "tugasmu hanya bertahan tetap waras, paling tidak hingga kamu mati" mungkin 30 tahun lagi, atau 20 tahun lagi, atau 10 tahun lagi, atau satu tahun lagi? Tidak lama. Aku sedang berusaha tetap waras, tetap lurus. Karena jika di dunia saja sudah tidak bahagia? Bagaimana aku mampu sengsara di waktu yang jauh lebih lama lagi setelah hidup kembali?